Kamis, 17 November 2016

MAHASISWA APATISME DALAM BERLEMBAGA


Apatis, adalah istilah yang kini telah menjadi umum dan sering didengarkan oleh mahasiswa, khususnya yang aktif di Lembaga Kemahasiswaan. Entah mereka mengerti arti kata dan makna yang sesungguhnya dari kata “Apatis-Apatisme” itu sendiri, atau justru hanya sebuah istilah yang “mencirikan” mahasiswa lain yang tidak ingin bergabung di organisasinya. Lain lagi ketika istilah itu kemudian dijadikan “mahasiswa” lain untuk tidak bergabung di organisasi kemahasiswaan…” Maaf saya adalah mahasiswa Apatis”, seakan-akan bahwa sang mahasiswa ini memahami arti dan makna Apatis, sehingga dengan ringannya mengatakan kalau dia adalah “apatis”. Lalu kenapa ia kemudian memilih untuk Apatis ?
Dalam kamus bahasa Indonesia, Apatis adalah “acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh,:”

Apatisme merupakan sikap acuh tak acuh terhadap sebuah hal, dalam hal ini organisasi kemahasiswaan. Jawaban “Mahasiswa Apatis” pada percakapan tadi bagi pemahaman penulis bukan berarti bahwa dia benar-benar cuek, acuh tak acuh atau bermasa bodoh terhadap organisasi kampus. Hemat penulis “Apatis” yang ia tunjukkan terhadap organisasi kemahasiswaan/kampus dilatari oleh dua aspek yaitu rendahnya kepercayaan terhadap “organisasi kampus” dan rendahnya ketertarikan mahasiswa terhadap organisasi.





Banyak alasan mengapa mahasiswa menjadi apatis,
Pertama, hedonisme (gaya hidup berhura-hura yang hanya mementingkan kesenangan dan kenikmatan duniawi) secara perlahan merasuki kaum muda-mudi, tak terkecuali mahasiswa. Mahasiswa kini tak bisa lagi secara universal disebut kaum intelektual atau pembawa perubahan. Hedonisme telah merubah banyak diantara mereka dari kutu buku menjadi pencinta club malam, narkoba atau miras. Pergeseran perilaku ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh arus globalisasi sehingga cenderung sangat sulit dibendung.

Organisasi seharusnya mampu memberikan kesibukan kepada mereka sehingga tak ada waktu untuk terjebak pada perilaku menyimpang ini. Gelarlah kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial seperti baksos atau kegiatan yang kompetitif seperti lomba menulis dan sebagainya. Buatlah kegiatan yang tak dapat diperoleh di bangku kuliah agar mengacu mahasiswa untuk berpikir kreatif, inovatif, dan cerdas. Kegiatan-kegiatan tersebut nantinya tidak hanya akan bermanfaat bagi diri mahasiswa sendiri, tapi juga bagi lingkungan di sekitarnya.

Kedua, munculnya tanggapan miris di kalangan mahasiswa sendiri bahwa organisasi menghambat prestasi akademik. Banyak yang enggan berorganisasi lantaran melihat rekannya yang berorganisasi mengalami penurunan dalam prestasi akademik, sehingga muncul anggapan bahwa organisasi menghambat mahasiswa dalam menyelesaikan studinya. Padahal, sejumlah organisasi kemahasiswaan telah menetapkan indeks prestasi akademik tertentu atau jumlah SKS yang harus dilulusi sebagai prasyarat menjadi pengurus. Ini yang perlu ditegakkan lagi.

Ketiga, ada persepsi publik yang terbangun saat ini bahwa pengurus lembaga kemahasiswaan hanya memiliki bakat demonstrasi. Image ini muncul dari sejumlah pemberitaan media massa bahwa umumnya aksi demonstrasi menyusahkan masyarakat misalnya pemblokiran jalan dan sebagainya. Apalagi jika demonstrasi yang digelar berakhir bentrok.

Keempat, adanya ketakutan mahasiswa jika berlembaga dan berorganisasi justru menambah musuh dan lawan. Ini dapat dilihat dari sikap tidak bijaknya para sebagian “organisatoris” kampus yang melarang dan tidak memberikan kebebasan bagi mahasiswa lain untuk melakoni organisasi sesuai bakatnya. Sebagian para pelaku organisatoris cenderung bersifat “pragmatis” dalam membangun kekuasaan dan ingin dikatakan hebat dibanding organisasi yang lainnya. Padahal sejatinya “organisasi” diharapkan mampu menjadi wadah bagi mahasiswa untuk berkarya, bukan malah dijadikan alat untuk sebuah kepentingan kelompok, sectarian, daerah, atau politik semata. Mungkin, kesimpulan penulis poin inilah yang utama menyebabkan kemudian kenapa mahasiswa lebih memilih untuk “apatis”.

Inilal sebagian masalah yang harus diperhatikan oleh para mahasiswa yang mengaku sebagai sang “organisatoris” dan aktifis kampus, penulis yakin ketika poin-poin anggapan tersebut di atas bisa ditepis oleh para pelaku organisatoris, tentunya jawaban “saya sibuk, saya kan apatis” tidak akan menjadi alasan bagi mahasiswa lainnya untuk tidak berlembaga. Berat memang, tetapi itulah tugas dan tanggung jawab sang aktifis dan sang organisatoris.



Sumber : alimiswar.blogspot.co.id

0 komentar:

Posting Komentar