Kabinet Bersinergi

BEM STIE Muhammadiyah Pekalongan 2016-2017.

Kabinet Bersinergi

BEM STIE Muhammadiyah Pekalongan 2016-2017.

Kabinet Bersinergi

BEM STIE Muhammadiyah Pekalongan 2016-2017.

Kabinet Bersinergi

BEM STIE Muhammadiyah Pekalongan 2016-2017.

Kabinet Bersinergi

BEM STIE Muhammadiyah Pekalongan 2016-2017.

Minggu, 27 November 2016

TUGAS DAN PERANAN SEORANG MAHASISWA MUSLIM

Pandangan hidup yang islami pada diri seseorang Muslim akan tergambar pada pelbagai tugas (kewajiban) yang harus dilaksanakannya dalam kehidupan seharian. Tugas-tugas itu hakikatnya adalah hukum-hukum syara' yang digali dari nash-nash syara', yang berkaitan dengan realiti kehidupan yang dihadapinya dalam pelbagai interaksi yang dilakukan.





Memahami hukum syarak yang berkaitan dengan aktiviti seharian, adalah fardhu ‘ain bagi seorang Muslim. Namun mempelajari hukum syara' yang tidak berkaitan dengan aktiviti sehari-hari, adalah fardhu kifayah (An Nabhani, 1953). Seorang petani wajib memahami hukum-hukam syarak tentang tanah, penyewaan tanah pertanian, musaqat dan sebagainya. Seorang doktor pula wajib memahami hukum syara' tentang perubatan, pembedahan mayat, pengguguran janin, pemindahan organ tubuh, pengklonan dan sebagainya. Seorang tentera pula harus mema-hami hukum tentang jihad, tawanan, perdamaian, perjanjian, harta rampasan perang, dan sebagainya. Demikian pula seorang mahasiswa, dia seharusnya memahami hukum syara’ yang berkaitan dengan kegiatannya sehariannya sebagai mahasiswa. Disamping itu, seorang mahasiswa Muslim adalah secara de facto adalah seorang Muslim, maka dia wajib memahami kewajibannya yang utama dalam kedudukannya sebagai Muslim.

Atas dasar itu, ke atas seseorang mahasiswa Muslim, tugas utama yang wajib dipikulnya setidak-tidak-nya ada 3 (tiga):

Pertama, menuntut ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Tugas ini berkaitan dengan posisinya sebagai mahasiswa yang aktiviti utamanya sehari-hari adalah belajar. Dalam hal ini nabi Muhammad saw telah bersabda: “Menuntut ilmu adalah fardu bagi setiap muslim” [HR. Abu Dawud]

Lafaz “al ‘ilm” di atas bersifat umum, yaitu meliputi ilmu-ilmu berasaskan wahyu, seperti ulumul Qur`an, ulumul hadits, usul fiqh, juga ilmu-ilmu yang tidak berasaskan wahyu, seperti ilmu perubatan, kejuruteraan, dan ilmu-ilmu keprofesional lain yang dipelajari di institusi pendidikan, yang wajib ada demi berputarnya roda kehidupan. Jelaslah sebagai mahasiswa, tugasnya yang utama adalah belajar dalam rangka meraih ilmu sebagai bekalan hidup. Hendaklah tugas ini dilaksanakan semaksimum mungkin sehingga menghasilkan manfaat dunia dan akhirat setinggi-tingginya.

Kedua, mengkaji Tsaqofah Islamiyah (ilmu-ilmu keislaman). Tugas ini berkaitan dengan posisinya sebagai seorang Muslim yang wajib mempunyai pandangan hidup Islam. Tanpa kajian Tsaqofah Islam yang mendalam, sukar membayangkan seorang Muslim mampu mempunyai pandangan hidup yang Islami malah bertambah sukar pula mem-bayangkan dia mampu berfikir dan berperilaku secara Islami.

Tsaqofah Islamiyah adalah pengetahuan Islam yang dasar pembahasannya adalah Aqidah Islamiyah. Contohnya adalah pembahasan Aqidah Islamiyah, ilmu tauhid, tafsir, hadits, bahasa Arab, dan sebagainya. Tugas kedua ini tidak kurang pentingnya dengan tugas pertama kerana tugas ini sebenarnya adalah tugas mendasar setiap Muslim, sama ada mahasiswa ataupun bukan. Setiap Muslim wajib mempunyai pengetahuan Islam yang memadai agar dapat menjalani kehidupan sesuai dengan Islam. Jadi, jika tugas pertama tadi tujuannya adalah untuk hidup, maka tugas kedua ini tujuannya agar: saya dapat hidup dengan benar.

Ketiga, memikul dakwah Islamiyah. Tugas ini berkaitan dengan statusnya sebagai seorang Muslim dan sebahagian dari keseluruhan umat Islam seantero dunia. Dia wajib mempunyai sikap mengambil tahu keadaan dan realiti umat dan berjuang untuk mengubah keadaan agar lebih baik. Mahasiswa Muslim tidak seharusnya hanya memikirkan dirinya sendiri sahaja, sebab sikap ego dan mementingkan diri ini jauh terpesong dari nilai-nilai Islam yang menghendaki adanya sensitiviti kepada manusia lain. Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa pada pagi hari tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka.” [HR. Al Hakim]

Di samping itu, Islam menuntut setiap Muslim untuk melakukan taghyir (perubahan) apabila dia melihat suatu penyimpangan atau kemungkaran. Tidak boleh dia hanya berdiam diri dan berpeluk tubuh, apalagi pasrah dan menyerah. Rasulullah saw bersabda lagi:

“Barangsiapa di antara kamu melihat ke-mungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya (fizikal). Jika tidak mampu, hendaklah dia mengubahnya dengan lidahnya (perkataan). Jika tidak mampu, hendaklah dia mengubahnya dengan hatinya (tidak redha) dan itulah selemah-lemah iman.” [HR. Muslim]

Oleh yang demikian, mahasiswa Muslim seharusnya sedar akan tanggungjawabnya melakukan perubahan dan bersama-sama menyeru kepada Islam, sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah saw ketika baginda memikul dakwah Islam untuk mengubah masyarakat Jahiliyah menjadi masyarakat Islamiah.Saat ini, tugas melakukan perubah-an seperti ini wajib digerakkan, kerana waktu ini kita hidup dalam sebuah masyarakat yang tidak Islami, yakni masyarakat yang tidak berdiri di atas kalimah tauhid. Kita wajib men’taghyir’ secara keseluruhan menuju masyarakat Islam yang menerapkan Islam secara kaffah.

Oleh kerana itu, tidak seharusnya seorang mahasiswa Muslim berdiam diri menyaksikan kekufuran dan kemaksiatan menggila disekelilingnya dan berdiam diri sahaja menyaksikan ideologi kapitalisme yang kafir menguasai dunia. Nabi saw mencela orang yang hanya berpeluk tubuh dan berdiam diri terhadap kemaksiatan sebagai syaitan yang bisu. Sudahlah syaitan, bisu lagi! Na’uzhu billah min dzalik! Nabi Saw bersabda:

“Orang yang berdiam diri dari kebenaran (tidak mahu mengingatkan atau berusaha membuat perubahan), adalah seperti syaitan yang bisu.” [HR. Al Hakim]

Dikaitkan dengan tugas kedua, maka tugas ketiga ironinya seperti berikut: jika tugas kedua tujuannya adalah: saya dapat hidup dengan benar, maka tugas ketiga ini tujuannya adalah: saya dan saudara-saudara umat Islam saya dapat hidup dengan benar.

Kamis, 17 November 2016

TERLALU DALAM ZONA NYAMAN, KIAN TERJEBAK DALAM APATISME.



Anda mungkin sering geram dengan orang-orang yang apatis, orang-orang yang tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, acuh terhadap kondisi masyarakat, bangsa dan negaranya atau yang lebih parahnya lagi membuat onar dan merusak tatanan. Anda mungkin akan sering menemukan orang-orang yang membuang sampah sembarangan padahal ditempat lain ada orang yang sedang giat-giatnya mencari solusi penanganan banjir atau global warming.

Di Bandara misalnya, anda akan menemukan beberapa orang yang masih sehat dan terlihat berpendidikan yang tetap mengoperasikan handphone saat take off, padahal telah ada peringatan yang jelas tentang hal ini. Dan hal yang paling sering dan paling banyak orang lakukan adalah menyerobot lampu merah. Entah itu anda pernah melakukannya sendiri atau pernah melihat orang lain melakukannya, saya yakin anda pasti sepakat dengan saya bahwa mereka –orang-orang yang melanggar lalu lintas ini, sebenarnya tahu atau bahkan sangat mengerti kalau tindakan mereka adalah tindakan melanggar hukum.

Dan orang-orang apatis, orang yang membuang sampah sembarangan, orang-orang yang menyerobot antrian, atau bahkan orang yang berada di Bandara tadi pun saya yakin mereka sebenarnya sangat mengerti tentang roll atau aturan-aturan yang sedang dijalankan disana. Namun mengapa mereka tidak tergerak untuk melakukan perilaku prososial dan bahkan terkesan tak mau tahu, apakah “hanya” mentaati peraturan adalah sebuah hal yang sangat sulit? Ataukah jangan-jangan mereka telah kehilangan kesadaran mereka?

Jawaban dari pertanyaan tentang apakah “hanya” mentaati peraturan adalah sebuah hal yang sangat sulit? Saya sendiri tidak tahu pasti apakah memang benar demikian, namun bisa jadi benar sangat sulit bagi orang-orang yang terlalu terbiasa hidup enak dalam zona nyaman mereka. Bisa jadi sangat sulit bagi mereka yang pusat kesenangannya terlalu terpacu.

Berbincang tentang kesadaran, menurut Solso (2007) dalam bukunya Psikologi Kognitif beliau memaparkan definisi kesadaran sebagai kesiagaan seseorang terhadap peristiwa-peristiwa di lingkungannya (seperti pemandangan dan suara-suara dari lingkungan sekitarnya) serta peristiwa-peristiwa kognitif yang meliputi, pikiran, perasaan dan sensasi-sensasi fisik.

Berangkat dari definisi diatas bisa kita asumsikan bahwa orang-orang apatis ini bisa jadi telah kehilangan kesadarannya –dalam ranah psikologi kognitif (bukan faal). Mereka kehilangan kesiagaan terhadap peristiwa-peristiwa di lingkungannya, kehilangan kesiagaan ini karena pusat hukuman tidak terpacu, bisa jadi mereka merasa terlalu nyaman dalam kondisinya sehingga tidak ada kesiagaan terhadap apa yang terjadi di luar dirinya. Ketika pusat hukuman terpacu seseorang akan lebih hati-hati, lebih ambisius, cemas dan peduli lingkungan. Sedangkan bila pusat kesenangan yang terpacu maka sikap yang dimunculkan adalah apatis dan ceroboh.

Ketika membahas ini saya jadi teringat petuah dosen psikologi umum saya ketika saya masih berada di tingkat satu, beliau menuturkannya sebagai berikut “Jika dirimu ingin berkembang dan berprogres jangan biarkan orang terlalu banyak memujimu.”beliau juga menuturkan “Jika ingin membuat orang berfikir rasional, kritik ia dan beri pertanyaan yang mengkritik”Kata-kata ini kemudian menjadi lebih bermakna ketika saya telah belajar psikologi faal tentang pusat hukuman dan pusat kesenangan –hal yang telah kita bahas diatas. Inti dari petuah itu kurang lebih bermakna demikian “Jangan biarkan dirimu berada di zona nyaman jika kau ingin membuat perubahan”.

Orang-orang yang apatis, orang yang acuh pada kondisi bangsa dan negaranya, acuh pada lingkunagn sekitarnya atau bahkan tidak peduli pada saudara dan teman-temannya, adalah mereka orang-orang yang kehilangan consciousness atau kesadarannya. Bukan karena mereka gila, bahkan bisa jadi mereka sangatwaras dan cerdas. Kehilangan kesadaran atau kesiagaan terhadap kejadian atau peristiwa-peristiwa di lingkungan ini lebih dikarenakan faktor kondisi psikis mereka, mereka orang-orang yang pusat kesenanganya sangat terpacu dan pusat hukumannya nyaris tidak aktif atau dengan kata lain mereka adalah orang-orang yang terlalu berada dalam zona nyaman. “Nyaman itu nikmat, namun bukankah Allah membenci segala sesuatu yang berlebihan?

“ إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ “

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A'raf: 31)

MAHASISWA APATISME DALAM BERLEMBAGA


Apatis, adalah istilah yang kini telah menjadi umum dan sering didengarkan oleh mahasiswa, khususnya yang aktif di Lembaga Kemahasiswaan. Entah mereka mengerti arti kata dan makna yang sesungguhnya dari kata “Apatis-Apatisme” itu sendiri, atau justru hanya sebuah istilah yang “mencirikan” mahasiswa lain yang tidak ingin bergabung di organisasinya. Lain lagi ketika istilah itu kemudian dijadikan “mahasiswa” lain untuk tidak bergabung di organisasi kemahasiswaan…” Maaf saya adalah mahasiswa Apatis”, seakan-akan bahwa sang mahasiswa ini memahami arti dan makna Apatis, sehingga dengan ringannya mengatakan kalau dia adalah “apatis”. Lalu kenapa ia kemudian memilih untuk Apatis ?
Dalam kamus bahasa Indonesia, Apatis adalah “acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh,:”

Apatisme merupakan sikap acuh tak acuh terhadap sebuah hal, dalam hal ini organisasi kemahasiswaan. Jawaban “Mahasiswa Apatis” pada percakapan tadi bagi pemahaman penulis bukan berarti bahwa dia benar-benar cuek, acuh tak acuh atau bermasa bodoh terhadap organisasi kampus. Hemat penulis “Apatis” yang ia tunjukkan terhadap organisasi kemahasiswaan/kampus dilatari oleh dua aspek yaitu rendahnya kepercayaan terhadap “organisasi kampus” dan rendahnya ketertarikan mahasiswa terhadap organisasi.





Banyak alasan mengapa mahasiswa menjadi apatis,
Pertama, hedonisme (gaya hidup berhura-hura yang hanya mementingkan kesenangan dan kenikmatan duniawi) secara perlahan merasuki kaum muda-mudi, tak terkecuali mahasiswa. Mahasiswa kini tak bisa lagi secara universal disebut kaum intelektual atau pembawa perubahan. Hedonisme telah merubah banyak diantara mereka dari kutu buku menjadi pencinta club malam, narkoba atau miras. Pergeseran perilaku ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh arus globalisasi sehingga cenderung sangat sulit dibendung.

Organisasi seharusnya mampu memberikan kesibukan kepada mereka sehingga tak ada waktu untuk terjebak pada perilaku menyimpang ini. Gelarlah kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial seperti baksos atau kegiatan yang kompetitif seperti lomba menulis dan sebagainya. Buatlah kegiatan yang tak dapat diperoleh di bangku kuliah agar mengacu mahasiswa untuk berpikir kreatif, inovatif, dan cerdas. Kegiatan-kegiatan tersebut nantinya tidak hanya akan bermanfaat bagi diri mahasiswa sendiri, tapi juga bagi lingkungan di sekitarnya.

Kedua, munculnya tanggapan miris di kalangan mahasiswa sendiri bahwa organisasi menghambat prestasi akademik. Banyak yang enggan berorganisasi lantaran melihat rekannya yang berorganisasi mengalami penurunan dalam prestasi akademik, sehingga muncul anggapan bahwa organisasi menghambat mahasiswa dalam menyelesaikan studinya. Padahal, sejumlah organisasi kemahasiswaan telah menetapkan indeks prestasi akademik tertentu atau jumlah SKS yang harus dilulusi sebagai prasyarat menjadi pengurus. Ini yang perlu ditegakkan lagi.

Ketiga, ada persepsi publik yang terbangun saat ini bahwa pengurus lembaga kemahasiswaan hanya memiliki bakat demonstrasi. Image ini muncul dari sejumlah pemberitaan media massa bahwa umumnya aksi demonstrasi menyusahkan masyarakat misalnya pemblokiran jalan dan sebagainya. Apalagi jika demonstrasi yang digelar berakhir bentrok.

Keempat, adanya ketakutan mahasiswa jika berlembaga dan berorganisasi justru menambah musuh dan lawan. Ini dapat dilihat dari sikap tidak bijaknya para sebagian “organisatoris” kampus yang melarang dan tidak memberikan kebebasan bagi mahasiswa lain untuk melakoni organisasi sesuai bakatnya. Sebagian para pelaku organisatoris cenderung bersifat “pragmatis” dalam membangun kekuasaan dan ingin dikatakan hebat dibanding organisasi yang lainnya. Padahal sejatinya “organisasi” diharapkan mampu menjadi wadah bagi mahasiswa untuk berkarya, bukan malah dijadikan alat untuk sebuah kepentingan kelompok, sectarian, daerah, atau politik semata. Mungkin, kesimpulan penulis poin inilah yang utama menyebabkan kemudian kenapa mahasiswa lebih memilih untuk “apatis”.

Inilal sebagian masalah yang harus diperhatikan oleh para mahasiswa yang mengaku sebagai sang “organisatoris” dan aktifis kampus, penulis yakin ketika poin-poin anggapan tersebut di atas bisa ditepis oleh para pelaku organisatoris, tentunya jawaban “saya sibuk, saya kan apatis” tidak akan menjadi alasan bagi mahasiswa lainnya untuk tidak berlembaga. Berat memang, tetapi itulah tugas dan tanggung jawab sang aktifis dan sang organisatoris.



Sumber : alimiswar.blogspot.co.id

Selasa, 15 November 2016

MENJADI AKTIVIS MAHASISWA YANG BERPRESTASI





Sudah beberapa hari semester baru perkuliahan di tahun ajaran yang baru dimulai. Rasanya seperti teringat dengan masa-masa awal menjadi mahasiswa dulu. Lugu, penuh kepolosan, dan miskin informasi, serta tidak begitu paham dengan apa yang akan dilakukan setelah proses registrasi selesai hingga akhirnya sampai pada penghujung OSPEK yang sekaligus menjadi penegas bahwa era baru sebagai mahasiswa dimulai.

Tulisan ini dikhususkan untuk para mahasiswa baru dan akan sedikit mengulas betapa seorang mahasiswa baru itu harus segera menemukan habitatnya. Dalam artian dia harus sesegera mungkin menentukan rencana jangka panjang dan pendeknya untuk menghadapi era baru dalam hidupnya. Hadirnya komunitas keorganisasian yang tepat akan sangat membantu hal tersebut sehingga seorang mahasiswa akan segera memulai start-nya dalam jalurnya sebagai generai penerus bangsa.
Awal semester ini pasti kita tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa akan terjadi perubahan pada status kita dari seorang siswa menjadi mahasiswa. Kita juga tak pernah menyangka sebelumnya bahwa mulai detik ini kita telah menjadi bagian dari kampus pilihan kita. Sebuah kampus yang kita yakini benar-benar merupakan kawah candradimuka bagi mereka yang memang ingin berilmu dan menjadi sosok manusia solutif terhadap setiap permasalahan bangsa.

Status mahasiswa ini pastinya akan menumbuhkan sebuah kebanggaan tersendiri bagi orang tua kita, keluarga kita, dan tentunya kita sendiri. Namun tahukah rekan-rekan mahasiswa baru sekalian bahwa dunia perkuliahan menawarkan sesuatu yang jauh berbeda ketimbang masa-masa sekolah dulu. Kalau ada yang bilang bahwa SMA adalah masa-masa terindah ketika remaja maka dunia perkuliahan adalah masa-masa yang akan sangat menentukan masa depan rekan-rekan semua apakah masa depan yang indah ataukah masa depan yang suram. Semasa SMA dulu semua informasi mengenai akademik atau sejenisnya akan sangat mudah didapat, namun pada saat kuliah semua akses informasi harus rekan-rekan cari sendiri dan kalau sampai terlambat bisa jadi rugi sendiri. Selain itu, kalau dulu guru kita itu sangat aktif mengajarkan pelajaran pada kita di kuliahan dosen hanya berperan sebagai fasilitator dari mata kuliah yang diajarkan dan mahasiswa harus mengeksplorasi sendiri stimulan yang diberikan oleh dosen tersebut. Dengan keadaan yang seperti ini praktis seorang mahasiswa haruslah memiliki sikap kemandirian dan berimprovisasi dengan benar agar semua proses belajar di bangku kuliah dapat berjalan dengan lancar sehingga masa depan yang indah pun pada akhirnya bisa diraih.

Menjadi Aktivis Mahasiswa Berprestasi

Dunia perkuliahan adalah masa-masa yang akan sangat menentukan masa depan kita. Semua hal di masa depan akan ditentukan di sini dengan segala macam dinamika yang terjadi entah itu konflik atau lainnya serta konsekuensi yang muncul setelahnya. Semua orang pastilah memiliki angan-angan indah tentang masa depan dan alangkah indahnya lagi kalau untuk mencapai masa depan itu dicapai dengan prestasi-prestasi gemilang dan mampu mendedikasikan ilmunya untuk nusa, bangsa, dan agama. Sehingga untuk mencapai semua prestasi itu sudah menjadi suatu keharusan untuk memulainya dari detik yang paling awal ketika pertama kali menjadi seorang mahasiswa.

Pencapaian prestasi yang gemilang itu tentunya membutuhkan sebuah proses panjang dan tidak instan dimana proses itu akan berjalan secara bertahap dimulai dari hal yang paling kecil sampai dengan hal yang paling spektakuler. Ketika kita dihadapkan dengan suatu permasalahan maka sesungguhnya saat itulah sebenarnya kita akan memulai untuk berproses dan belajar bagaimana mengidentifikasi suatu permasalahan serta menemukan solusi yang tepat, efektif dan efisien. Untuk dapat mengidentifikasi suatu permasalahan dengan tepat dibutuhkan sebuah wawasan yang luas dan pengalaman empiris yang cukup sehingga masalah yang terjadi akan dikaji dari aspek historisnya terlebih dahulu baru kemudian dianalogikan dengan permasalahan yang lain dengan kecenderungan model yang sama. Setelah identifikasi selesai tahap selanjutnya adalah merumuskan solusi untuk menjawab dan mengakomodir hasil identifikasi yang telah dilakukan sebelumnya. Proses inilah yang kemudian menjadikan mahasiswa atau siapapun yang menerapkannya sebagai seorang aktifis, yaitu sesosok karakter yang mampu menjadikan dirinya sebagai insan yang solutor terhadap berbagai macam problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Seorang mahasiswa yang mendedikasikan diri dan ilmunya sebagai seorang aktifis memilki tugas yang mulia yaitu merubah tatanan masyarakat yang sudah rusak secara sistemik menjadi tatanan masyarakat yang diridhloi oleh Allah SWT. Sangat jelas bahwa tugas nan mulia ini akan tersa berat jika dilakukan secara soliter karena dalam menghadapinya hanya menggunakan kekuatannya sendirian. Ibarat satu lidi yang mudah dipatahkan sedangkan amat sulit bagi seratus lidi untuk dipatahkan maka haruslah ada sebuah wadah bernama organisasi yang mampu menggabungkan semua potensi kekuatan yang dimiliki sehingga akan benar-benar tercipta tubuh yang kokoh dan tangguh untuk melaksanakan tugas mulia ini. Dan yang harus dimaknai lebih lanjut adalah bahwa aktivis itu tidaklah identik dengan demonstran yang kerap melancarkan aksi anarkisme dalam menyampaikan suaranya. Aktivis mahasiswa haruslah menggunakan cara yang intelek dan bersih dari anarkisme.

Organisasi Ekstra Kampus

Menghadapi dinamika perkuliahan yang sangat kompleks tersebut telah hadir di tengah-tengah mahasiswa baru beberapa organisasi kemahasiswaan ekstra kampus (di luar otoritas kampus) sebagai sebuah wadah dinama para aktifis mahasiswa yang tergabung di dalamnya nanti akan saling berafiliasi, berfikir, dan bergerak untuk menciptakan tatanan kehidupan yang diridhoi oleh Allah SWT. Para aktifis mahasiswa ini kemudian mengadakan sebuah telaah dasar dari setiap problematika yang dihadapi oleh mahasiswa maupun simpul sosial yang lainnya untuk kemudian berusaha memberikan solusi yang terbaik.

Misi internal yang dibawa oleh sebuah organisasi idealnya adalah mencetak semua anggotanya menjadi seorang kader yang memiliki kriteria insan ulil albab, yaitu golongan-golongan pemikir yang pada akhirnya mampu untuk menganalisa dengan baik setiap permasalahan yang ada serta membuat strategi-strategi penyelesaiannya baru kemudian menelurkannya menjadi langkah-langkah teknis.

Sebagai mahasiswa yang memilki amanah dari orang tua untuk belajar di bangku kuliah sudah menjadi keharusan baginya untuk mendapatkan Indeks Prestasi (IP) yang baik. Demikian halnya dengan seorang aktifis yang selain dituntut untuk selalu berfikir solutif terhadap segala permasalahan juga harus memilki IP yang baik pula (di atas 3,01) serta menghasilkan karya-karya di bidang akademik semacam penelitian ataupun karya ilmiah lainnya. Hal ini menjadi sangat penting karena seorang aktifis itu haruslah memiliki keterampilan yang baik dalam segala hal sehingga ketika sudah lulus dari kuliah nanti yang muncul adalah sebuah kesiapan mental maupun keterampilan teknis di lapangan saat terjun dan membaur di dalam masyarakat.

Kultur yang terbangun di dalam tubuh organisasi ekstra kampus idealnya adalah bagaimana mencapai semua hal yang telah dipaparkan sebelumnya. Dengan berorganisasi maka seseorang akan belajar untuk mampu beraktualisasi serta berfikir kritis dan mendalam di kehidupan bermasyarakat serta belajar bagaimana membangun sebuah jaringan yang tentunya akan sangat bermanfaat ketika telah menapaki dunia kerja suatu saat nanti. Hal inilah yang kemudian menjadi nilai plus bagi seorang aktifis mahasiswa.

Mahasiswa merupakan bagian dari kaum cendekiawan yang secara teoritik harus memainkan peran-peran intelektual sehingga secara moral bertanggung jawab terhadap perkembangan masyarakat. Dengan penjelasan yang seperti ini maka sudah menjadi keharusan bagi seorang mahasiswa untuk dapat menunjukkan eksistesinya dalam memainkan peran-peran intelektual di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bergabung dan beraktualisasilah ke dalam organisasi kemahasiswaan yang sesuai dengan hati kalian serta yakinlah semua usaha kita akan sampai menuju kehidupan yang lebih baik kehidupan yang diridhloi oleh Allah SWT.

http://dhedhi-irawan.blogspot.co.id

JADILAH MAHASISWA BERPRESTASI DUNIA DAN AKHIRAT




Kampus memang tempatnya menimba ilmu dan pastinya tempat tuk meraih prestasi. Baik itu prestasi akademik maupun non akademik. Oleh karena itu, banyak sekali mahasiswa yang berlomba-lomba untuk ikut dalam berbagai kompetisi, baik yang di adakan di internal kampus semisal mengikuti lomba karya tulis ilmiah, Mapres (Mahasiswa Berprestasi) dan lomba debat maupun yang diadakan eksternal kampus, semisal lomba yang diadakan oleh Dikti, kampus lain ataupun Institusi pendidikan lainnya. Dan ternyata tidak sedikit dari teman-teman kampus yang berhasil menjadi juara dalam kompetisi semacam itu lho... Apa kamu salah satunya?

Namun dewasa ini, banyak dari kita yang menganggap bahwa prestasi itu hanya sebatas nilai yang tinggi, IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang tinggi, dan mampu meraih penghargaan pada kompetisi tertentu, betul ga? Padahal tidak semua yang berprestasi bisa diukur dari nilai alias angka di atas kertas lho. Banyak orang yang sudah membuktikannya. Kadangkala kita menemui ada mahasiswa yang pada saat kuliah dia mendapatkan nilai yang biasa-biasa saja, IPKnya dua koma alhamdulillah, namun ketika dia selesai kuliah dan terjun ke dunia bisnis dia menjadi orang yang berhasil. Ada pula orang yang pada saat kuliah dia terkenal cerdas, selalu mendapatkan nilai tertinggi, dan IPK cumlaude, namun dia hanya bisa menjadi seorang bawahan yang prestasi kerjanya biasa saja.

Selain itu, kita juga banyak sekali menemukan orang yang cerdas memiliki peringkat tertinggi di kelasnya, tetapi dia sombong dan tidak mau berbagi ilmu dengan temannya yang lain. Dengan kata lain kecerdasan dan prestasi tidak berbanding lurus dengan kualitas moral yang baik. Nah kalau begitu, apa sih sejatinya makna prestasi? Dan bagaimanakah mahasiswa yang berprestasi itu?

Prestasi secara umum bisa diartikan sebagai hasil belajar, mempelajari, dan memahami segala sesuatu. Ada juga yang mengartikan sebagai hasil capai kesuksesan yang kita peroleh dari usaha yang kita lakukan dalam meraih sesuatu. Sedangkan mahasiswa berprestasi disebutkan dalam panduan pemilihan mahasiswa berprestasi yang dikeluarkan oleh Komisi Pendidikan Nasional, berarti mahasiswa yang berhasil mencapai prestasi tinggi, baik akademik maupun non akademik, mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dan bersikap positif. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang belajar dengan bersungguh-sungguh ketika akan menghadapi ujian hingga akhirnya mendapatkan hasil yang terbaik. Contoh lain saat seorang mahasiswa mempresentasikan karya tulisnya. Kemudian dia berhasil memenangkan kompetisi karya tulis ilmiah tersebut. Itulah beberapa contoh arti prestasi dan mahasiswa yang berprestasi secara sederhana. Namun, apakah sudah cukup?

Prestasi sebagai hasil belajar dan memahami sesuatu mengandung arti apa yang telah dipelajari dan dipahami itu berpengaruh dalam sikapnya seperti peribahasa padi yang semakin berumur semakin merunduk dan yang tidak kalah penting adalah bermanfaat bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Pertanyaan selanjutnya adalah cukupkah kita ketika sudah dikatakan berprestasi di mata manusia? Jawabannya pasti tidak. Sebagai seorang muslim yang kebetulan mahasiswa, tentunya berprestasi di hadapan Allah Sang Pencipta Manusia dan berhasil meraih keridhoan-Nya adalah dambaan dan tujuan semua muslim. Allah sendiri telah berfirman dalam Quran Surat Ali Imran [110]: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahhli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, diantara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik”

Allah telah memberikan kita kaum muslim predikat sebagai umat yang terbaik. Umat yang berprestasi. Bukan hanya berprestasi di dunia tetapi juga untuk akhirat. Rasulullah pun sebagai teladan kita adalah sosok yang sangat mencintai prestasi. Dalam setiap perbuatan yang Rasulullah lakukan sangat terjaga mutunya dan mempesona kualitasnya. Misalnya shalat yang beliau lakukan adalah shalat yang prestatif artinya sangat menjaga kekhusyuannya. Belum lagi dalam masalah strategi perang dan pengurusan rakyat Madinah kala itu. Para sahabat yang notabenenya hasil pembinaan Rasul juga memiliki prestasi yang gemilang. Sebut saja Mushab Bin Umair yang diutus Rasul untuk mengajarkan Islam di Madinah. Hanya dalam waktu satu tahun, Mushab mampu membuat opini Islam menyebar di seluruh Madinah hingga dikatakan tidak satupun rumah di sana yang tidak membicarakan Islam dan Rasulullah. Dan mungkin kita masih ingat Muhammad Al Fatih yang mampu menaklukkan Kota Konstantinopel pada saat beliau berusia 21 tahun, beliau dan pasukannya mendapatkan predikat sebagai pemimpin dan pasukan terbaik.

Rasulullah dan para sahabat sudah memberikan kita cukup bukti bagaimana dalam setiap perbuatan yang dilakukan, beliau-beliau mampu melahirkan prestasi dengan tidak meninggalkan aspek tujuan dan kualitas/mutu dari perbuatan. Artinya setiap perbuatan jelas tujuannya dan langkah-langkah agar tujuannya tercapai juga jelas. Sedang motivasi yang ada hanyalah motivasi ruhiyah yang berasaskan aqidah Islam. Sudah sunnatullahnya bahwa orang-orang yang mendapatkan predikat terbaik adalah mereka yang paling berkualitas dalam amal perbuatannya. Baik dalam urusan dunia maupun akhirat.

Begitulah gambaran Muslim prestatif. Dia tidak hanya mencukupkan diri berprestasi di hadapan manusia, tetapi juga berusaha untuk berprestasi di hadapan Allah. Nah, bila kita ingin menjadi muslim dan mahasiswa yang berprestasi, berarti kita tidak boleh mencukupkan diri hanya dengan mendapatkan peringkat tertinggi, IPK terbaik, dan predikat memuaskan, tetapi juga harus berprestasi di mata Allah. Bagaimana caranya? Belajar adalah kuncinya. Bukan hanya mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga mempelajari Islam, mendalami Islam, melaksanakan Islam dalam kehidupan, dan menyebarkan Islam. Insya Allah, kesejahteraan di dunia dan keridhoan-Nya pun akan kita dapatkan. Wallahu a'lam Bish showwab.

http://moeslimedia.blogspot.co.id

SIMBIOSIS MUTUALISME ISLAM DAN POLITIK





Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Jika hal yang sangat sederhana seperti urusan makan, tidur dan MCK diatur oleh Islam, apalagi hal-hal yang besar yang tentu saja menjadi perhatian Islam. Jika hal-hal yang bersifat pribadi ada Juknisnya dalam Islam, apalagi urusan yang bersifat komunal yang mencakup hajat hidup orang banyak. Hal ini mengingat penyimpangan terhadap hal private memiliki ekses kepada sedikit orang, sebaliknya penyimpangan terhadap hal yang bersifat komunal akan berdampak pada banyak orang. Dari semua itu, tentu saja jika Islam memberikan petunjuk dalam urusan yang kecil maka menjadi keniscayaan jika Islam mengurus urusan yang  lebih besar. Di antara hal yang besar tersebut adalah masalah politik. Islam memberikan perhatian pada pemimpin yang bagaimana yang akan dipilih umat Islam. Langkah tersebut dapat dilakukan melalui proses politik. Di antara ayat-ayat yang memberikan bimbingan dalam masalah politik adalah apa yang termaktub dalam surat Ali Imran: 28, al-Nisa’: 89, 139, dan 144, al-Maidah:51, 57, 81, dan al-Mumtahanah: 1. Semua ayat tersebut berisi larangan menjadikan orang-orang non-Muslim sebagai “wali” baik dalam bentuk tunggal ataupun jamak, dengan keragaman makna di antaranya; penolong, teman setia, dan lain sebagainya. Dari pemaknaan tersebut, memaknai ayat sebagai bentuk larangan seorang Muslim memilih pemimpin non-Muslim merupakan bentuk “qiyas awla” atau “fahm al-khithab” dengan ilustrasi bahwa jika menjadikan penolong atau teman setia saja tidak boleh, apalagi menjadikan mereka sebagai pemimpin.

Ketika Islam memerintahkan umatnya untuk memilih pemimpin terbaik, maka secara tidak langsung Islam memerintahkan umatnya untuk hidup sadar politik atau melek politik. Politik adalah sarana yang niscaya dalam menentukan seorang pemimpin. Ketika ada larangan lahirnya pemimpin non-Muslim, maka umat Islam diminta untuk menghadirkan pemimpin Muslim, dan hal itu hanya dapat diwujudkan melalui proses politik. Meninggalkan aktivitas politik secara tidak langsung melalaikan kewajiban memilih pemimpin yang sesuai dengan Islam sebagai konsekuensi dari adanya larangan memilih pemimpin non-Muslim. Ada satu kaidah dalam ushul fiqh bahwa perintah terhadap sesuatu sekaligus merupakan perintah juga terhadap segala hal yang menjadi sarana merealisasikan perintah tersebut. Perintah shalat meniscayakan adanya perintah berwudhu, begitu pula dengan perintah memilih pemimpin yang baik yang meniscayakan umat Islam masuk dalam ranah politik sebagai medianya. Adapun bunyi kaidah tersebut adalah Al-amru bi al-syai’i amrun biwasa’ilihi (perintah terhadap sesuatu, sekaligus perintah melaksanakan perbuatan yang menjadi sarananya), atau kaidah Ma la yatimm al-wajib illa bihi fahuwa wajib (suatu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib hukumnya).

Dari sisi historis perjalanan bangsa Indonesia, ketika seorang Muslim meninggalkan politik, maka sesungguhnya ia menerapkan apa yang sudah direkomendasikan Snouck Hurgronje (8 Februari 1857 – 26 Juni 1936) kepada Pemerintah Hindia Belanda. Hurgronje dengan sepak –terjangnya berpura-pura masuk Islam berhasil menemukan hal yang sangat penting ketika ia  menyampaikan bahwa pemerintah Hindia Belanda tidak perlu mengkhawatirkan Umat Islam yang melaksanakan ibadah haji. Seorang muslim yang berhaji, mereka hanya menginginkan ibadah saja. Pelaksanaan ibadah haji tidak menunjukkan fanatisme dan militansi seseorang terhadap Islam. Harry J. Benda dalam bukunya The Crescent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under The Japanesse Occupation 1942 – 1945 mengutip masukan Snouck Hurgronje yang senada kepada pemerintah penjajahan Belanda bahwa musuh kolonialisme sesungguhnya bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap apolitis merupakan bentuk kontribusi umat Islam terhadap mereka yang memusuhi Islam agar tetap dapat dijajah dan dikuasai. Jika sikap ini yang menjadi pilihan utama umat Islam di masa lalu, tidak mustahil kemerdekaan hanyalah utopia belaka. Tetapi semua itu tidak terjadi, karena tingginya kesadaran politik umat Islam pada masa tersebut.

Dari sisi filosofis terkait dengan sekulerisme, Islam memiliki sejarah berbeda dengan Kristen. Sekulerisme (pemisahan agama dan Negara) tidak tepat jika dijadikan solusi yang dialamatkan ke dalam agama Islam. Kristen melalui gereja memiliki dark age (sejarah kelam) ketika menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Gereja menjadi otoritas tertinggi yang dapat menghilangkan setiap orang atau komunitas yang berbeda pendapat dengannya. Ko Lingkang dalam tulisannya “The Dark Ages of Christianity: 10th – 15th Century” menggambarkan fenomena sejarah kelam tersebut dengan perilaku negatif yang muncul di kalangan gereja berupa; rendahnya moralitas, tingginya tingkat korupsi, dan kekuasaan kepausan yang bersifat otoriter.  Sehingga pada saat itu, sekulerisme dilahirkan untuk menghilangkan kesewenang-wenangan Gereja yang menggabungkan kekuasaan Negara dan agama. Bahkan menurut Graeme Smith dalam “Histoy of Seculerism”, sekulersime adalah bagian dari proses penyempurnaan Kristen Baru (new Christianity) atau gereja yang tetap menginginkan kebaikan. Sebaliknya Islam sebagai agama tidak memiliki pertentangan apapun dengan ilmu pengetahuan, bahkan keduanya bisa tetap berjalan dan bersinergi. Sekulerisme tidak perlu dihadirkan untuk menyempurnakan Islam, karena nilai-nilai Islam sendiri tidak pernah bertentangan nilai universal yang diakui seluruh umat manusia.

Ranah politik sendiri pada awalnya adalah sesuatu yang netral, yang kedudukannya sama dengan urusan pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya. Netralitas wilayah politik tidak berubah dengan perilaku negatif sebagian pelakunya. Fenomena dan perilaku politisi itulah yang kemudian berakibat pada stereotip negatif politik. Perilaku politisi yang buruk tidak secara otomatis menjadikan dunia politik menjadi kotor. Justru jika dunia yang identik dengan perilaku negatif ditinggalkan oleh orang yang memiliki idealisme, maka dunia politik tersebut bertambah negatif dan semakin meninggalkan netralitasnya. Pekatnya kecenderungan negatif dalam wilayah politik sudah disadari sejak awal, itulah mengapa Plato dalam bukunya “Republic” menyebutkan konsep “Philosopher King” bahwa seorang raja haruslah seorang filosof. Menurut Plato, tidak mungkin orang yang tidak mengenal nilai-nilai akan mampu menerapkannya. Hanya orang yang mengenal nilai-nilai tersebut yang akan mampu menerapkannya. Filosof pada zamannya adalah representasi komunitas yang memahami nilai-nilai ideal. Di samping itu Plato sejak awal meniscayakan keharusan adanya altruism bagi seorang politisi. Altruisme sendiri adalah keniscayaan bahwa orang tersebut adalah orang yang baik.
Menurut Kent Thune dalam “Plato: The Philospher King”, bahwa konsep nilai ideal dan altruism adalah dua makna yang terkandung dalam teori Philosopher King Plato. Narges Tajik dalam artikelnya “Happiness in Plato’s Theory of Philosopher – King” menyebutkan bahwa dengan teori ini Plato menjanjikan akan adanya kebahagiaan (happiness) di tengah masyarakat. Teori Philosopher King Plato juga mengisyaratkan keharusan pemaduan antara filsafat dan politik.

Terakhir, Perpaduan Islam (agama) dan Politik akan melahirkan satu simbiosis mutualisme. Melalui Islam, politik akan menemukan ruh atau kerangka idealnya yang akan mengawal lahirnya perilaku politik yang baik. Begitupula sebaliknya, dengan adanya politik maka Islam akan menemukan tempatnya untuk bergerak membumikan nilai-nilai ideal. Tanpa simbiosis mutualisme keduanya, maka Islam akan kehilangan ruang untuk bergerak membumi, pada saat yang sama politik tanpa Islam akan kehilangan nilai-nilai yang menjaga kemuliaannya. Bahkan pada gilirannya Islam akan mampu menghadirkan solusi-solusi signifikan pada permasalahan-permasalahan yang tidak mampu dihadirkan oleh politik ataupun politisi. Patrick F Fagan dalam tulisannya “Why Religion Matters: The Impact of Religious Practice on Sosicla Stability” secara gamblang menjelaskan bagaimana perilaku ketaatan agama seseorang mampu menghadirkan stabilitas bagi negara seperti Amerika sekalipun.

Dari berbagai gambaran di atas, semakin jelas bahwa perpaduan antara Islam dan politik adalah satu kebutuhan dan keniscayaan. Islam akan mengidealisasikan politik melalui internalisasi nilai-nilai ideal berpolitik pada diri para politisi, sementara politik akan membumikan nilai-nilai Islam dan memberdayakan umatnya melalui revitalisasi kesadaran politik yang dibingkai oleh nilai-nilai ideal. Dengan seperti itu akan lahir sikap politik yang luhur demi menghadirkan kebahagiaan bagi segenap warga bangsa ini.

(dakwatuna.com/hdn)

Senin, 14 November 2016

GALERI KABINET BEM STIE MUHAMMADIYAH PEKALONGAN 2016-2017